inetnews.co.id – Kecaman terhadap Kapolda Sulsel, Irjen Pol Andi Rian R Djajadi, yang diduga mengintimidasi wartawan, semakin meluas.
Kali ini, Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Kabupaten Bulukumba, Agus Salim, turut mengecam tindakan tersebut.
Agus Salim menilai tindakan Irjen Pol Andi Rian tidak mencerminkan sosok pemimpin yang dibutuhkan di negeri ini.
Menurutnya, intimidasi terhadap wartawan dan penyalahgunaan kekuasaan merupakan hal yang tidak dapat dibiarkan.
“Pemimpin yang arogan tidak dibutuhkan di negeri ini. Maka dari itu, kami meminta kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mencopot Kapolda Sulsel,” tegas Agus Salim, Rabu (11/9/24).
Lebih lanjut, Agus menduga bahwa Irjen Pol Andi Rian telah bertindak semena-mena, tidak hanya terhadap wartawan tetapi juga terhadap anggotanya, Gustina Bahri, yang dimutasi setelah suaminya mengungkap dugaan pungutan liar (pungli) di penerbitan SIM.
“Intimidasi terhadap wartawan adalah bentuk tindakan yang semena-mena. Menekan wartawan sama saja dengan menekan kebebasan pers. Ditambah lagi, memutasi istri wartawan sebagai balasan atas pemberitaan pungli SIM adalah bentuk pendzoliman dan harus dilawan,” tegas Agus.
Agus menekankan bahwa kebebasan pers harus dilindungi, dan tindakan intimidasi semacam ini hanya akan mencederai demokrasi serta menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Diberitakan sebelumnya, Kasus pungutan liar (pungli) di Polres Bone menjadi sorotan setelah Heri Siswanto, seorang jurnalis, memberitakannya secara terbuka.
Alih-alih mendapatkan respons positif dari pihak kepolisian, Heri justru diduga menerima intimidasi dari Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol Andi Rian R Djajadi.
Insiden ini menambah panjang daftar kasus yang menunjukkan bagaimana kebebasan pers di Indonesia seringkali terancam.
Kejadian bermula ketika Heri melaporkan adanya pungli dalam proses pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Polres Bone.
Salah satu warga yang hendak mengurus SIM A mengaku diminta membayar Rp500 ribu, jauh lebih tinggi dari biaya resmi yang telah ditetapkan. Berita ini kemudian viral di media sosial dan menarik perhatian publik.
Namun, berita tersebut ternyata membuat Kapolda Sulsel murka. Heri mengungkapkan bahwa dirinya mendapat telepon langsung dari Irjen Pol Andi Rian, yang marah besar karena pemberitaan tersebut.
“Dia (Andi Rian) marah-marah, menuduh saya menghajar institusi kepolisian. Bahkan, dia mempertanyakan kenapa saya sering memberitakan hal-hal negatif tentang polisi,” ujar Heri, Rabu (4/9/2024).
Tidak berhenti sampai di situ, dampak dari pemberitaan tersebut juga dirasakan oleh keluarga Heri. Istrinya, Gustina Bahri, yang bekerja sebagai ASN Polri di Polres Sidrap, tiba-tiba dimutasi ke Polres Selayar, sebuah wilayah yang cukup jauh dan terpencil.
Mutasi ini diduga kuat sebagai bentuk balasan atas berita yang diangkat oleh Heri.
“Beberapa hari setelah telepon dari Kapolda, istri saya dipindahkan ke Selayar. Ini adalah intimidasi yang nyata. Polri sekarang seolah-olah sudah menjadi anti kritik,” kata Heri dengan nada kecewa.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan luas di kalangan jurnalis dan aktivis kebebasan pers. Mereka menilai bahwa tindakan intimidasi terhadap wartawan merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Mereka mendesak agar kepolisian menghormati peran pers sebagai pilar keempat demokrasi dan menghentikan segala bentuk tekanan terhadap jurnalis yang hanya menjalankan tugas mereka.(*)