inetnews.co.id – menonton siaran berita di televisi tentang perkembangan politik terkini, Rafi tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia melihat ada segmen yang membahas tentang skenario ‘kotak Kosong‘ dalam Pilkada, dan itu membuat pikirannya terusik. Ia pun memutuskan untuk bertanya lagi kepada Tettanya, yang selama ini menjadi sumber pengetahuannya tentang politik.
“Tetta, saya lihat tadi di TV ada yang bahas soal skenario kotak kosong lagi diPemilukada2024. Sebenarnya, kenapa itu bisa terjadi?” tanya Rafi dengan nada penasaran.
Tetta yang sedang duduk santai dengan secangkir kopi di tangannya, tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kopi yang ia nikmati bukan sembarang kopi. Itu adalah kopi dari Tanah Malakaji, sebuah wilayah dataran tinggi di Kabupaten Gowa. Kopi ini memiliki citarasa yang khas, hasil dari tanah subur dan iklim sejuk pegunungan.
Meski begitu, kopi Malakaji masih menghadapi tantangan besar di pasar. Hingga saat ini, kopi tersebut belum memiliki merek resmi yang bisa diandalkan.
Akibatnya, para petani dan penjual kopi di sana sering kali harus mencatut merek lain demi memenuhi kebutuhan pasar, sehingga identitas asli dari kopi Malakaji belum sepenuhnya dikenal luas.
Tetta menyesap kopinya perlahan, kemudian tatapannya beralih ke sebuah foto usang yang terpajang di dinding.
Foto itu menampilkan Tetta muda, berdiri di depan tugu Monas saat ia berkunjung ke Jakarta pada tahun 70-an.
Itu adalah masa ketika ia mulai memahami bagaimana kekuasaan besar bisa mempengaruhi banyak hal, termasuk perjalanan hidup seseorang.
Dengan pandangan yang masih terarah pada foto tersebut, Tetta mulai menjawab pertanyaan Rafi.
“Skenario kotak kosong, Rafi, itu bukan hal yang muncul begitu saja. Ada banyak faktor yang bisa memicunya, tapi salah satu yang paling umum adalah tekanan dari lingkaran penguasa yang sangat kuat,” jelas Tetta dengan nada penuh perenungan.
“Di balik tekanan itu, biasanya ada sosok atau kelompok yang memiliki kekuatan besar, baik secara Ekonomi, Kekuasaan , maupun Sosial. Mereka inilah yang sering kali berada di balik layar, mengatur segala pergerakan.”
Rafi mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang dikatakan Tettanya.
“Jadi, partai-partai itu seperti mencoba ‘memborong’ calon-calon bupati biar tidak ada ada lawan yang serius begitu, Tetta?” tanya Rafi dengan wajah penuh pertimbangan.
“Betul, Nak,” jawab Tetta dengan anggukan.
“Kadang, ada calon bupati yang sebenarnya ingin maju, tapi karena tekanan dari berbagai arah, terutama dari partai-partai besar yang dikuasai oleh sosok-sosok berpengaruh itu, mereka jadi mundur teratur,”
“Partai-partai ini bisa saja memberikan dukungan kepada satu pasangan calon saja, dengan maksud agar tidak ada lawan yang cukup kuat untuk menantang mereka.”
Rafi terdiam sejenak, mencerna penjelasan Tettanya. Ia mulai menyadari bahwa politik lebih dari sekadar persaingan biasa; ada permainan kekuasaan di balik layar yang tak selalu tampak di permukaan.
“Jadi, kalau calon-calon lain tidak lagi terdengar serius mau maju menjelang pendaftaran, itu bisa jadi karena tekanan politik dan strategi partai-partai besar itu ya, Tetta?” tanya Rafi, mencoba menyimpulkan pemahaman barunya.
“Benar sekali, Rafi. Kalau tekanan sosok itu sudah begitu besar, dan partai-partai besar sudah berhasil mengunci dukungan mereka hanya pada satu pasangan calon, maka calon-calon lain bisa merasa tidak ada gunanya maju”
“Akhirnya, muncullah skenario kotak kosong, di mana hanya ada satu calon yang maju, dan rakyat hanya punya pilihan untuk memilih atau tidak memilih,” jawab Tetta dengan nada bijak.
Percakapan itu berakhir dengan Rafi yang semakin paham tentang dunia politik yang penuh dengan strategi dan tekanan. Skenario Kotak Kosong bukanlah sekadar kebetulan, melainkan hasil dari kalkulasi politik yang cermat dan penuh dengan intrik.
Sambil menyesap lagi kopinya dari Tanah Malakaji, Tetta merasa ada kemiripan antara perjuangan para petani kopi dengan dinamika politik yang baru saja ia jelaskan.
Baik kopi Malakaji maupun calon-calon bupati, keduanya berhadapan dengan kekuatan besar yang menentukan nasib mereka di pasar—baik itu pasar politik maupun pasar komoditas.
Sambil memandang foto usang itu, Tetta teringat kembali akan Monas, simbol dari pusat kekuasaan di negeri ini.
Di sana, ia pernah merasakan langsung bagaimana kekuatan besar bisa membentuk nasib banyak orang, termasuk mereka yang berada jauh dari hiruk pikuk ibu kota.
Kini, cerita itu kembali hidup dalam benaknya, saat ia menjelaskan kepada Rafi tentang bagaimana skenario Kotak Kosong adalah hasil dari pengaruh kekuatan besar yang sama.
Penulis Arfandi Palallo Pegiat Literasi Gowa , Sungguminasa 22 Agustus 2024