inetnews.co.id — Ratusan warga Kelurahan Pattapang resah setelah pengakuan Amran , salah seorang warga yang mengklaim memiliki alas hak atau kepemilikan tanah seluas 950 hektar di kawasan wisata Malino , tepatnya di Kelurahan Pattapang.
Pengakuan ini membuat kegaduhan setelah Amran melaporkan dugaan penyerobotan tanah ke Polda Sulawesi Selatan . Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 50 warga dilaporkan atas tuduhan tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh salah satu terlapor, H Nurlia , yang didampingi oleh RW dan RT Kelurahan Pattapang kepada awak media pada Kamis, 6 Januari 2025 . Menurut H Nurlia, dari 50 orang yang dilaporkan, baru 6 orang yang sudah mendapat panggilan dari kepolisian untuk dimintai keterangan.
“Baru sekitar 6 orang yang diperiksa di kantor polisi, yang lainnya menunggu jadwal panggilan,” ungkap H Nurlia.
Klaim Kepemilikan Tanah 950 HA Dipertanyakan
Menurut H Nurlia , tanah tempat mereka bersama warga lainnya sudah puluhan tahun didiami. Bahkan, ada warga yang sudah mengantongi sertifikat tanah dan memperoleh pengakuan dari pemerintah setempat .
Yang membuat warga bingung, tiba-tiba Amran datang dan mengklaim kepemilikan tanah seluas 950 hektar . Jika klaim ini benar, maka hampir satu kelurahan akan menjadi miliknya.
“Ini sangat aneh, kenapa tiba-tiba ada yang datang mengaku punya tanah seluas 950 hektar. Jika seluas itu, maka hampir satu kelurahan dia yang punya. Padahal, tanah ini sudah kami tempati sejak lama,” jelas H Nurlia.
Pengakuan Ahli Waris Dinilai Janggal
Sementara itu, M Tahir , warga lainnya, juga merasa heran dengan klaim kepemilikan tanah tersebut. Menurutnya, almarhum Pak Nyikko , yang disebut-sebut sebagai pemilik awal tanah, dulunya hanya seorang pengawas di perusahaan pertanian.
“Setahu kami, almarhum tidak punya tanah seluas itu. Dia dulu hanya pengawas di perusahaan pertanian. Tiba-tiba ada ahli waris yang mengklaim tanah seluas 950 hektar. Ini sangat aneh,” ujar Tahir penuh keheranan.
Tahir juga memahami papan bicara yang dipasang oleh pihak pengklaim yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Menurutnya, pada tahun 1982 , Kementerian Pertanian menetapkan lokasi tersebut sebagai kawasan hutan .
“Jika dia mengklaim tanah dengan rincik lama, hal itu sudah tidak berlaku lagi karena sejak tahun 1982 sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Baru pada tahun 2019 negara melepaskan sebagian kawasan ini, bukan lagi hutan,” ungkap Tahir.

Kuasa Hukum Warga: Klaim Tanah Harus Dibuktikan di Pengadilan
Ketua tim pendamping hukum warga, Marhuni Labile , didampingi oleh Arif J , menegaskan bahwa klaim penyerobotan tanah harus dibuktikan di ranah hukum. Ia mengkritik langkah pihak pelapor yang melaporkan warga ke polisi dan memasang spanduk tanpa melalui proses hukum di pengadilan .
“Dasar kepemilikan yang kuat dan benar harus melalui proses pengadilan. Jika punya dasar yang kuat, seharusnya menggugat warga ke pengadilan, bukan menakut-nakuti melalui laporan polisi dan pemasangan spanduk,” tegas Marhuni , yang juga Kuasa Hukum Redaksi Inetnews.co.id .
Marhuni juga mendokumentasikan adanya oknum yang bermain di balik kasus ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Pihaknya bahkan telah melakukan klarifikasi ke Polda Sulsel terkait papan bicara yang mengklaim tanah tersebut dalam pengawasan Polda.
Hasil klarifikasi menunjukkan bahwa Polda Sulsel hanya melakukan klarifikasi dan penyelidikan , dan tidak pernah mengklaim tanah tersebut sebagai milik pihak tertentu.
“Papan bicara yang dipasang itu tidak ada kaitannya dengan Polda Sulsel. Proses di Polda hanya sebatas klarifikasi dan penyelidikan. Polda tidak pernah mengklaim tanah tersebut,” pungkas Marhuni, Senin,(17/2/2025)
Warga Pattapang Berharap Keadilan
Kasus ini terus bergulir dan meresahkan warga Kelurahan Pattapang. Mereka berharap proses hukum berjalan transparan dan adil. Mereka juga meminta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menyatakan netral dalam menangani pembelaan ini.
Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat kawasan wisata Malino dikenal sebagai destinasi wisata populer di Sulawesi Selatan . Kepastian hukum atas tanah seluas 950 hektar ini sangat diperlukan untuk menghindari konflik berkepanjangan.
Warga berharap agar penyelesaian tanah ini dapat diselesaikan secara adil dan transparan melalui proses hukum yang sah , sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Editor: Amn/Id
Follow Berita Inetnews.co.id di Google News